Sebelumnya gue minta kiss (terima kasih) ma lo semua yang telah berbaik hati mau menginjakkan kursor mouse lo ke blok gue, harap maklum yee, berhubung blog gue masih tahap pembangunan jadi meludah aja sesuka lo, Harap Bantuannya agar blog gue bisa (eneg) enak dipandang. sekali lagi terima kasih

Jumat, 24 Februari 2012

Konsep Jurnalistik dan Sejarah Perkembangan Jurnalistik

Waah. . . kali ini gue dapet mata kuliah JURNALISTIK, gue sih masih awam banget sama tuh kata makanya gue ingin cari tau lagi tentang nih jurnalstik. Tadi tuh gue dapet tugas dari dosen (dosen paling mantap dah dikampus gue) tentang konsep dasar dan sejarah perkembangan jurnalistik, makenye tuh gue mau berbagi sama kalian semua yaa gue juga mungut-mungut sih dari Mba Google. Ok kalo gitu kita langsung saja di TKP.

Seperti biasa kita mulai cari tau dulu tuh Apa Itu Jurnalistik ?

Istilah jurnalistik dapat ditinjau dari tiga sudut pandang: harfiyah, konseptual, dan praktis.
Secara harfiyah, jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau kepenulisan. Kata dasarnya jurnal (journal), artinya laporan atau catatan, atau jour dalam bahasa Prancis yang berarti hari (day). Asal-muasalnya dari bahasa Yunani kuno, du jour yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak.
Secara konseptual, jurnalistik dapat dipahami dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu. 
1. Sebagai proses, jurnalistik adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).
2. Sebagai teknik, jurnalistik adalah keahlian (expertise) atau keterampilan (skill) menulis karya jurnalistik (berita, artikel, feature) termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara.
3. Sebagai ilmu, jurnalistik adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa. Jurnalistik termasuk ilmu terapan (applied science) yang dinamis dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebaga ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.
Secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita (news processing) dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian kedua ini, kita dapat melihat adanya empat komponen dalam dunia jurnalistik: informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi, dan media massa.
Informasi : News & Views
Informasi adalah pesan, ide, laporan, keterangan, atau pemikiran. Dalam dunia jurnalistik, informasi dimaksud adalah news (berita) dan views (opini).

Berita adalah laporan peristiwa yang bernilai jurnalistik atau memiliki nilai berita (news values) aktual, faktual, penting, dan menarik. Berita disebut juga informasi terbaru. Jenis-jenis berita a.l. berita langsung (straight news), berita opini (opinion news), berita investigasi (investigative news), dan sebagainya.
Views adalah pandangan atau pendapat mengenai suatu masalah atau peristiwa. Jenis informasi ini a.l. kolom, tajukrencana, artikel, surat pembaca, karikatur, pojok, dan esai.
Adajuga tulisan yang tidak termasuk berita juga tidak bisa disebut opini, yakni feature, yang merupakan perpaduan antara news dan views. Jenis feature yang paling populer adalah feature tips (how to do it feature), feature biografi, feature catatan perjalanan/petualangan, dan feature human interest.

Penyusunan Informasi
Informasi yang disajikan sebuah media massa tentu harus dibuat atau disusun dulu. Yang bertugas menyusun informasi adalah bagian redaksi (Editorial Department), yakni para wartawan, mulai dari Pemimpin Redaksi, Redaktur Pelaksana, Redaktur Desk, Reporter, Fotografer, Koresponden, hingga Kontributor.
Pemred hingga Koresponden disebut wartawan. Menurut UU No. 40/1999, wartawan adalah orang yang melakukan aktivitas jurnalistik secara rutin. Untuk menjadi wartawan, seseorang harus memenuhi kualifikasi berikut ini:

1. Menguasai teknik jurnalistik, yaitu skillmeliput dan menulis berita, feature, dan tulisan opini.
2. Menguasai bidang liputan (beat).
3. Menguasai dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Teknis pembuatannya terangkum dalam konsep proses pembuatan berita (news processing), meliputi:
1. News Planning = perencanaan berita. Dalam tahap ini redaksi melakukan Rapat Proyeksi, yakni perencanaan tentang informasi yang akan disajikan. Acuannya adalah visi, misi, rubrikasi, nilai berita, dan kode etik jurnalistik. Dalam rapat inilah ditentukan jenis dan tema-tema tulisan/berita yang akan dibuat dan dimuat, lalu dilakukan pembagian tugas di antara para wartawan.
2. News Hunting = pengumpulan bahan berita. Setelah rapat proyeksi dan pembagian tugas, parawartawan melakukan pengumpulan bahan berita, berupa fakta dan data, melaluipeliputan, penelusuran referensi atau pengumpulan data melalui literatur, dan wawancara.
3. News Writing = penulisan naskah. Setelah data terkumpul, dilakukan penulisan naskah.
4. News Editing = penyuntingan naskah. Naskah yang sudah ditulis harus disunting dari segi redaksional (bahasa) dan isi (substansi). Dalam tahap ini dilakukan perbaikan kalimat, kata, sistematika penulisan, dan substansi naskah, termasuk pembuatan judul yang menarik dan layak jual serta penyesuaian naskah dengan space atau kolom yang tersedia.
Setelah keempat proses tadi dilalui, sampailah pada proses berikutnya, yakni proses pracetak berupa Desain Grafis,berupa lay out (tata letak), artistik, pemberian ilustrasi atau foto, desain cover, dll. Setelah itu langsung ke percetakan (printing process).
siip dah, itu baru konsep dasarnya aja, sekarang kita lanjut menuju sejarah perkembangannya, cekidot.
Secara historis, jurnalistik merupakan catatan harian yang digunakan oleh Kaisar Romawi yaitu Gaius Julius Caesar (100-44 SM) untuk mengumumkan kepada rakyat semua kegiatan-kegiatan Senat serta beberapa kebijakan dan peraturan baru yang ditetapkan yang kemudian ditempelkan pada papan pengumuman yang diberi nama Acta Diurna. Pemberitaan melalui Acta Diurna inilah yang dianggap sebagai cikal bakal kegiatan jurnalistik yang ada pada saat ini.

Meski dianggap sebagai cikal bakalnya jurnalistik, namun Acta Diurna tidak mengalami perkembangan karena terjadi kevacuman yang disebut “The Dark Ages”. Perkembangan selanjutnya terjadi di Jerman yang ditandai dengan munculnya surat kabar pertama dengan jumlah halamn 11 lembar yang bernama Avisa Zeitung. Kemunculan surat kabar ini menjadi tonggak bangkitnya kembali aspirasi informasi. 

Hingga saat ini perkembangan dalam dunia jurnalistik terus berlangsung. Dari jurnalistik yang konvensional menjadi beberapa konsep jurnalistik baru seperti jurnalistik baru, jurnalistik damai dan ada juga yang bernama jurnalistik presisi. Baik dari jurnalistik baru, jurnalistik damai dan jurnalistik presisi, pers di Indonesia sejauh ini hanya dapat mengaplikasikan diri pada jurnalistik presisi saja. Bahkan ini pun tidak seluruh lembaga pers yang telah menggunakannya. Hal ini memang terkait dengan beberapa keterbatasan yang ada dan hambatan-hambatan yang lainnya baik dari segi eksternal maupun internal.
Terlepas dari permasalahan yang ada dan menghambat, jurnalistik presisi telah diakui keberadaannya di Indonesia sebagai bentuk jurnalisme yang baru dan telah dipraktekkan oleh negara-negara lain. Tidak seperti bentuk jurnalistik baru yang hingga saat ini tidak diakui sebagai model lain jurnalistik. Juga seperti jurnalistik damai yang di Indonesia masih dianggap sebagai sebuah wacana dan belum ada satu pun lembaga pers Indonesia yang menggunakan konsep jurnalistik damai. 

Kemudian munculah yang namanya jurnalisti presisi, Sebutan precision journalism atau jurnalisme presisi diintrodusir pertama kali oleh seorang profesor jurnalisme dari Garnett Center for Media Studiea, Amerika Serikat, pada tahun 1973. Sebelumnya jenis jurnalisme ini disebut sebagai new journalism (jurnalisme baru), computer-assisted journalism (jurnalisme yang dibantu komputer), scientific journalism (jurnalisme ilmiah), atau quatitative journalism (jurnalisme kuantitatif). 

Dari beberapa nama lain dari jurnalistik presisi ini, secara sederhana jurnalistik presisi dapat didefinisikan sebagai suatu model reportase yang menggunakan metode penelitian sosial kuantitatif. Artinya, persoalan-persoalan, tingkah laku, dan karakteristik masyarakat, dalam pengkajiannya menjadi sebuah berita dilakukan dengan pendekatan dengan metode penelitian sosial kuantitatif dengan cara dikonversikan dalam angka-angka, untuk kemudian dianalisa. Dalam kegiatan reportase atau reporting beritanya, jurnalistik presisi menggunakan metode penelitian sosial sebagai cara mengumpulkan keterangan dan menggunakan content analysis sebagai sumber informasinya. Hasil dari reportase jurnalistik presisi ditampilkan dalam bentuk polling atau yang juga disebut jajak pendapat.

Ada beberapa alasan mengapa jurnalistik presisi diperlukan untuk melengkapi metode reportase yang sudah ada. Pertama, dalam jurnalistik presisi memberikan ruang lebih banyak kepada opini publik. Karena selama ini yang dianggap sebagi pendapat umum atau opini publik sering kali adalah hanya terbatas pada produk elit discourse, bukan publik discourse. Yang menjadi sumber berita adalah politisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pakar dan selebritis. Reportase konvensional hanya akan menghasilkan tulisan berdasar pendapat beberapa pejabat, pakar, dan mungkin penduduk sekitar yang menjadi obyek pemberitaan. Tanpa sebuah konsep jurnalistik presisi yang berupa polling atau jajak pendapat, tulisan yang bernada kontra terhadap masalah terkait dengan pejabat pemerintahannya, tidak berarti banyak karena pendapat yang dikemukakan tidak bisa diklaim mewakili pendapat publik.
Kedua, jurnalistik presisi dapat menjadi alat bantu yang dapat digunakan untuk menghadapi manipulasi realitas oleh sumber atau pihak lain yang memang berusaha untuk menutupi hal yang sebenarnya. Sebuah kasus yang terjadi di Amerika Serikat dapat menjadi contoh yang bagus. Pada akhir tahun 1976, berita-berita yang muncul di media mengidentifikasikan bahwa tingkat kejahatan di New York amat tinggi. Selama tujuh minggu, koran dan televisi lokal membuat feature-feature tentang perampokan terhadap para manula. Meskipun peristiwanya memang benar-benar terjadi, konteksnya tidak, karena pada data statistik kepolisian tidak menunjukkan kenaikan tingkat kejahatan. Karena yang sebenarnya terjadi adalah bahwa kepolisian New York mencari dukungan publik berkaitan dengan sebuah kebijakan mereka, dengan cara mendorong pers memberi lebih banyak waktu dan ruang untuk berita kriminal. Dan rekayasa kenyataan ini sukses, dan kebijakan tersebut mendapat dukungan publik.
Ketiga, metode content analysis memberi perangkat pada wartawan untuk dapat mengungkap sisi-sisi yang tidak kasat mata dari sebuah berita. Sisi-sisi yang tidak kasat mata dari sebuah berita dapat diungkap dengan dokumen-dokumen yang ada. Secara singkatnya, konsep reportase yang biasa dilakukan untuk mengungkap sebuah fakta, dianggap tidak bisa memberikan data-data yang akurat dan komprehensif tentang fakta yang ada dalam pemberitaannya. Untuk itu alat baru berupa jurnalistik presisi sangat dibutuhkan, terutama kebutuhan untuk dapat menangkap respon dan kecenderungan masyarakat terhadap persoalan-persoalan yang ada dengan data-data yang jelas, pasti dan terukur.

Pada awal pengaplikasiannya yang dilakukan di Amerika pada tahun 1935, majalah Fortune mempublikasikan hasil jajak pendapat yang dipercaya sebagai jajak pendapat pertama yang dilakukan oleh suatu organisasi media. Tema-tema yang diangkat masih sederhana, seputar kehidupan-kehidupan masyarakat pada umumnya. Metode yang dilakukan juga masih sederhana yaitu survey research yang menggunakan manusia atau masyarakat sebagai sumber analisisnya. Perubahan besar terjadi pada tahun ’60-an, lebih dari sepertiga seluruh media massa Amerika menggunakan konsep jurnalistik presisi karena kemajuan komputer yang terjadi pada saat itu yang memungkinkan pengaplikasian komputer untuk melakukan penelitian sehingga pengolahan data menjadi lebih mudah.

Pada tahun 1973, diluncurkan sebuah buku karya Phillip yang berjudul ”Precision Journalism, A Reporter’s Introduction To Social Research Methods (Indiana University Press, Bloomington). Sampai saat ini pun buku ini masih menjadi standar referensi manual bagi para pemakai jurnalistik presisi, karena dalam buku ini memuat diskusi konseptual yang bagus tentang pemakaian metode ini. Melalui tulisannya, ia mengingatkan jurnalisme tentang penggunaan metode-metode ilmu pengetahuan sosial, seperti prosedur pemilihan sampel, dan penganalisaannya, sebagai alat untuk menvaliditaskan akumulasi fakta-fakta agar mendekati ketepatan dan keakuratan obyektivitas pemberitaan. 

Perbedaan Antara Jurnalistik Presisi Dengan Jurnalistik Lain

Secara sederhana, dari segi metode, jurnalistik presisi berbeda dari konsep jurnalistik pada umumnya yaitu jurnalistik konvensional, juga berbeda dari model-model jurnalistik yang baru seperti jurnalistik damai dan baru. Jika jurnalistik konvensional biasa menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan jurnalistik presisi menggunakan metode kuantitatif. Perbedaan ini dapat digambarkan dalam sebuah bagan berikut ini :

• Model Pendekatan Jurnalistik Konvensional
Realitas- Individu- Deskripsi Verbal- Makna Simbolik atau Kualitatif- Fakta Sosial
• Model Pendekatan Jurnalistik Presisi
Realitas- Individu- Deskripsi Statistik- Makna Statistik atau Kuantitatif- Fakta Sosial

Metode yang biasa digunakan dalam jurnalistik presisi ada dua yaitu :
1) Content Analysis ; yaitu metode yang menggunakan dokumen-dokumen, rekaman, atau berkas-berkas penting sebagai bahan analisis.
2) Survey Research ; yaitu metode yang menggunakan manusia atau masyarakat sebagai subyek analisisnya.

Sebetulnya ada metode ketiga yang dapat dilakukan dalam jurnalistik presisi yaitu Field Experiment (penelitian lapangan). Tapi metode ini kurang populer dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain. Di Indonesia masih sangat jarang ada lembaga penelitian dan media pers yang menggunakan metode content analysis dalam penelitiannya. Mayoritas menggunakan metode yang kedua yaitu survey research, hal ini dikarenakan akses publik ke dokumen-dokumen lembaga di Indonesia yang sangat sulit sehingga penelitian yang mengandalkan pada dokumen-dokumen penting masih sulit untuk dilakukan.
Dari segi obyek berita yang diamati, tidak terdapat perbedaan antara jurnalistik konvensional dengan jurnalistik presisi. Karena pada jurnalistik juga mengamati isu-isu sosial politik kontemporer yang sedang hangat terjadi.

Jurnalisme presisi antara lain mengamati konsep-konsep masyarakat. Konsep adalah idea, sebuah gambaran mental untuk sebuah abstraksi. Tingkah laku, sikap, pengetahuan khusus, pendidikan, pendapatan, suku atau ras, kesemuanya adalah konsep. Konsep ini bisa berubah setiap saat, sesuai dengan kesepakatan masyarakat, atau kelompok orang tertentu, seperti budaya, kewarganegaraan, atau sistem politik. Nada Ahmad mengemukakan beberapa konsep yang menjadi pengamatan jurnalistik presisi yang dikutipnya dari buku "Precision Journalism" karya David Pears Demers dan Suzanne Nichols. Penerbit: Sage Publications, London, 1987. beberapa konsep tersebut yaitu :

1. Karakteristik penduduk, yang dikenal sebagai demografi meliputi jenis kelamin, suku atau kebangsaan, umur, pendapatan, pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, tempat tinggal dan lain-lainnya. 
2. Sikap, yaitu menyangkut perasaan positif atau negatif seseorang tentang sesuatu isu atau objek tertentu. Misalnya: “Saya suka Presiden SBY” atau “Saya tidak suka Presiden SBY”, “Saya menentang PP 37 tahun 2006”, dan sebagainya.
3. Kepercayaan, yaitu apa yang dipikirkan seseorang tentang sesuatu obyek atau isu tertentu. Contohnya, “Kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat kebanyakan”, “Pembangunan mal di daerah Kelapa Gading akan menyebabkan banjir di musim penghujan”, dan lain-lainnya
4. Tingkah-laku, agak berbeda dengan sikap, tingkah laku atau kebiasaan ini dapat dilihat langsung oleh reporter, misalnya berapa kali seseorang anggota DPR RI melakukan interupsi, dan bagaimana ketua sidang menanggapinya, berapa kali sekelompok masyarakat mengajukan protes terhadap sebuah tindakan yang tidak mereka sukai dan sebagainya. Pengukuran pendapat ini dapat dilakukan dengan menanyakan langsugn kepada warga masyarakat untuk mengetahui apa reaksi dan yang telah mereka lakukan. Namun demikian cara menanyakan langsung demikian ini amat memerlukan waktu serta biaya maupun tenaga. Para peneliti sering berasumsi bahwa masyarakat relatif tepat dalam mengamati tindak tanduk atau kebiasaan mereka sendiri.

Para pengguna metode jurnalistik presisi harus betul-betul paham dengan pemakaian metode penelitian sosial. Karena pertanyaan penelitian atau pertanyaan untuk para narasumber yang akan dijawab dalam jurnalistik presisi juga harus jelas, berdasarkan data-data empiris yang akurat dan kuat, bukan berdasarkan pada rumor atau opini atau desas-desus. Meski dituntut untuk memahami pemakaian penelitian sosial tetapi masih terdapat perbedaan juga antara jurnalistik presisi dan penelitian sosial. Perbedaan ini terletak pada hasil akhirnya, jika penelitian sosial hasil akhirnya adalah buku atau laporan penelitian sedangkan hasil akhir dari jurnalistik presisi adalah sebuah berita. Jurnalistik presisi dibuat untuk memenuhi kebutuhan publik yang lebih luas, maka penulisannya harus sesuai dengan kaidah penulisan berita yang menggunakan bahasa yang lugas dan jelas supaya mudah dimengerti, tidak seperti buku atau laporan penelitian yang menggunakan bahasa ilmiah populer.

Perkembangan Jurnalistik Presisi di Indonesia

Di Indonesia, jurnalisme presisi mulai muncul dan dikenal sekitar tahun 1970-an. Namun, karena berbagai faktor internal di dalam perusahaan penerbitan dan kondisi sosial politik yang ada (eksternal) menyebabkan jurnalisme ini belum banyak dapat dipraktikan oleh banyak perusahaan pers. Padahal, aliran jurnalisme ini dapat memberikan jaminan dengan menggunakan penelitian sebagai salah satu alat untuk menyajikan obyekytivitas dan ketepatan berita.

Kemunculan lembaga-lembaga independen swasta di Indonesia terhitung masih sangat baru. Sehingga pelaksanaan polling atau jajak pendapat bagi lembaga-lembaga itu masih dianggap sebagai uji coba tes atau kesempatan belajar. Pada awal periode kemunculannya, jurnalistik presisi mendapat kekangan dari politisi pemerintah tidak tanggung-tanggung, yang mengekang adalah penguasa tertinggi negeri yaitu Soeharto. Selama masa Soeharto, jajak pendapat atau penelitian sangata dicurigai dan dianggap melakukan tindak subversi untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dan negara proklamasi.

Baru pada era reformasi tepatnya pada tahun 1998, jurnalisme presisi ini mulai dikembangkan lagi. Sejak tahun itu mulai banyak sedikit demi sedikit mulai banyak lembaga pers yang mempraktekkan jajak pendapat atau polling sendiri seperti KOMPAS yang termasuk dalam pelopor dalam hal ini dengan didukung divisi Litbangnya yang tangguh. Serta kalangan pers mahasiswa, padahal jauh sebelum tahun 1997 banyak persma yang telah menggunakan jurnalistik presisi. Bahkan ada beberapa persma yang dicekal gara-gara melakukan polling, misalnya SINTESA yang sempat dilarang terbit karena membuat poling yang hasilnya sebagian besar mahasiswa Fisipol setuju untuk melakukan perubahan terhadap UUD ’45. Maka dari itu, jurnalistik presisi disebut juga sebagai ”cerminan suara hati rakyat”. Bentuk jurnalistik presisi memberi warna baru pada isi berita media yang semua isi realitas media isinya hanya suara pejabat, bukan suara rakyat.

Karena masih terbilang baru berkembang, maka hanya ada sedikit kalangan media yang benar-benar dapat melakukan jajak pendapatnya sesuai dengan metodologi penelitian yang benar, misalnya LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Ekonomi dan Sosial), Litbang KOMPAS, dan RPC (Research Productivity Centre). Misalnya dalam pilkada Jatim putaran kedua kemarin, semua lembaga di atas dengan tepat bisa meramal siapa di antara dua calon yang akan terpilih sebagai gubernur. Bagaimana posisi partai-partai yang mendukung kedua calon serta tingkatan rangking kemenangan mereka. Sayangnya kalangan media massa ang seharusnya menjadi pilar utama berjalanna jurnalisme presisi masih tertinggal jauh, hanya KOMPAS yang bisa diandalkan.

Kesulitan medan riset di Indonesia terletak pada dua hal, yaitu pertama, pada persoalan sampling yang diambil (sampling error). Di Indonesia, belum ada satu lembaga jajak pendapat yang melakukan penelitian dengan sampel seluruh rakyat Indonesia. Selain persoalan dana, ketersediaan data yang memungkinkan seluruh lembaga jajak pendapat dan media untuk merancang sampling frame yang baik itu tidak ada. data dari BPS (Badan Pusat Statistik) masih sangat lemah. Kedua, persoalan non sampling error. Di negara-negara yang lebih maju masalah non sampling error ini menyangkut misalnya bagaimana pertanyaan dirumuskan, penampilan ketika mewawancarai, nada suara, pakaian dan lain-lain. Sedang di Indonesia masalah yang paling penting yang dihadapi adalah soal kultur masyarakat yang masih serba tertutup dan tidak terbiasa terbuka membicarakan pilihan-pilihan politiknya atau hal-hal lain yang bersifat tabu untuk dikemukakan secara terbuka seperti misalnya keperawanan mahasiswi di suatu kampus, pengalaman seks ataupun gaya pacaran beberapa kelompok anak remaja dan yang lainnya. Selain itu juga terkait dengan jaminan kerahasiaan dari lembaga jajak pendapat pun kadang masih dipertanyakan.

KESIMPULAN

Kemunculan jurnalistik presisi dilatar belakangi oleh keadaan berita yang ada selama ini yang tidak berdasarkan opini publik melainkan berdasarkan elite discourse. Selain itu juga digunakan sebagai senjata menghadapi manipulasi oleh pihak-pihak tertentu dengan cara menganalisis data-data dan dokumen penting yang ada. Yang pasti jurnalistik presisi ini memberi warna baru dalam dunia jurnalistik berita yang menjadi wadah rakyat, menyampaikan suara rakyat terkait kebijakan baru pemerintah.

Perbedaan jurnalistik presisi dengan jurnalistik konvensial terletak pada metode penelitiannya. Jika jurnalistik konvensional menggunakan metode kualitatif sedangkan jurnalistik presisi menggunakan metode kuantitatif. Nilai sesungguhnya dalm jurnalisme presisi adalah kemampuan jurnalis untuk menganalisis data-fakta yang terkumpul dan menginterpretasikannya, ditambah menyampaikannya ke dalam wacana jurnalistik.

Perkembangan jurnalistik presisi di Indonesia pada tahun 1970 mendapat kekangan dari presiden Soeharto. Baru setelah Soeharto turun pada era reformasi, jurnalisme presisi mulai dikembangkan lagi hingga saat ini. Dan sudah mulai banyak lembaga-lembaga pers yang mulai mempraktekkannya. Tapi masih ada beberapa kelemahan dalam penggunaan jurnalistik presisi yaitu pada pengambilan sampel (sampling error) dan non sampling error yang jika di Indonesia terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang masih tertutup.

Terimah Kasih atas kunjungan Anda di Blog ini, semoga semua ini dapat bermanfaat dah. Dan tidak lepas dari itu gue juga mau nyantungin dah tempat gue mulung, karena bagaimanapun ini bukan dari hasil otak gue. kalo lo ingin negara kita berubah menjadi negara maju, maka kita harus bisa dan belajar menghargai karya orang lain, gue akuin dah kalo negara kita nih kaya dengan SDA nya tapi kita jangan berbangga dengan itu karena kita harus sadari kalo negara kita ini masih kurang SDM nya. "Belajarlah Menghargai Karya Orang Lain"

Referensi :

Website
http://nadaahmad.multiply.com/journal/item/39/Jurnalisme_Presisi_precision_journalism
www.beritanet.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar